Sketsa Pengadilan Tuhan

Awalnya, kami dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok berisi delapan sampai sepuluh orang. Tidak butuh waktu lama, kami berhitung mengular, satu dua tiga, satu dua tiga, begitu seterusnya. Seusai pembentukan kelompok, salah seorang dari panitia mengarahkan kami menuju halaman depan gedung sembari membawa tiga buah tongkat pramuka. Perang-perangan sepertinya, batin saya menerka sambil mengikat tali sepatu. Meski tidak begitu yakin mengingat kami semua sedang memakai gamis. Tapi saya tetap percaya, sebelum berangkat tadi saya baru saja menamatkan film action yang dibintangi oleh Lukman Sardi. Saya masih terbawa suasana perang.

Setelah semua peserta berkumpul di kelompoknya masing-masing, si mbak panitia mulai membagikan satu buah amunisi (baca: tongkat pramuka) kepada tiap kelompok. Intruksi selanjutnya ialah meminta kami bari satu shaf. Padahal tadinya saya sengaja mencari tempat di baris paling belakang, mencari perlindungan. Menyadari keadaan tidak sesuai dengan ekspektasi, saya mulai was-was. Terpaksa tali sepatu kembali saya kencangkan, kali ini saya setting kunci ganda. Takut kalau-kalau jatuh saat melarikan diri nanti.

 Tidak lama, aturan main pun dibacakan :
1.       Semua peserta wajib memegang tongkat dengan tangan kanan, posisi tongkat terlentang.
2.       Akan ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab jujur sesuai hati nurani.
3.       Pertanyaan hanya boleh dijawab dengan ‘tetap memegang tongkat’  jika jawaban ‘iya’. Dan ‘harus melepas tongkat lalu mundur satu langkah’ jika jawaban ‘tidak’.
4.       Jika menjawab ‘iya’ sedangkan sudah tidak memegang tongkat, maka harus tetap berada di tempat. Tapi jika menjawab ‘tidak’ dan memang sudah tidak memegang tongkat, maka harus mundur lagi satu langkah.
5.       Permainan akan berakhir jika sudah ada kelompok yang tongkatnya jatuh, alias sudah tidak ada yang memegang lagi.

Semua peserta terlihat mengangguk-angguk tanda faham. Sementara saya sendiri masih agak kecewa karena tidak jadi mempraktikkan taktik perang yang sudah saya dapat dari Lukman Sardi tadi.  
“Semua siaaap?”, teriakan si mbak panitia mengagetkan saya.

“Siap!!”, kami menimpali tak kalah semangat, kali ini si mbak yang nampak terkejut.

“Oke, kita mulai ya. Pertanyaan pertama, Apakah teman-teman semua sudah yakin beriman kepada Allah?”

Semua peserta mengangguk mantap. Mempererat pegangan. Hm? Pertanyaan ketangkasan macam apa ini? Hati saya protes. Rasanya, Ia agak cerewet hari ini.

“Pertanyaan kedua, apakah teman-teman semua meyakini Nabi Muhammad utusan Allah dan suri tauladan yang harus kita tiru?”

Banyak peserta yang mengangguk dan tersenyum. Kembali mempererat pegangan. Kalau pertanyaannya gini-gini aja, gimana mau sampek aturan nomer lima? Gimana sih panitianya ini. Kali ini saya memarahi hati saya, ia sudah keterlaluan, mudah sekali mengatai orang.

Alhamdulillah, akhirnya dia mau tutup mulut setelah saya ancam akan saya patahkan, alasanya lebih baik patah tulang daripada patah hati. Saya jadi heran, siapa pula yang mengajari hati saya sampai pintar seperti ini.

“Pertanyaan ketiga,” saya kembali memusatkan perhatian, mengacuhkan hati yang diam-diam malah mulai mengenang seseorang. 

“Apakah teman-teman sudah melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu? ”

“Apakah teman-teman sudah berpuasa ramadhan sebulan penuh tanpa mengeluh?”

“Apakah teman-teman juga berzakat dan bershadaqah?”

Pertanyaan mulai dipercepat. Saya lihat di kelompok sebelah sudah ada yang mundur satu langkah. Alhamdulillah, kelompok saya masih utuh.

“Apakah teman-teman sudah rutin membaca Al-quran?”

“Apakah teman-teman sudah rutin shalat dhuha dan tahajud?”

“Apakah teman-teman sudah selalu sopan kepada orang tua?”

“Apakah teman-teman sudah tidak mencontek saat ujian?”

Pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan. Kali ini mulai banyak yang melepaskan tongkat dan mundur perlahan. Ada juga yang semakin ke belakang. Kelompok saya juga sudah mulai ada yang mundur.

“Apakah teman-teman sudah mengingatkan kepada sesama kalau ia salah?”

“Apakah teman-teman selalu memaafkan kesalahan orang lain?”

“Apakah teman-teman sudah selalu mengingat Allah?”

Dan seterusnya, dan seterusnya. Ada kalanya pertanyaan diulang sampai akhirnya ada kelompok yang tongkatnya sudah terjatuh. Pertanda permainan usai. Hasilnya bermacam-macam. Ada yang masih memegang tongkat. Ada yang baru mundur satu langkah. Ada juga yang sudah berada di b(u)elakang, yang berarti banyak menjawab ‘tidak’nya. Bagaimana dengan saya? Saya sudah mundur dari tadi juga, sengaja tidak bilang-bilang kepada pembaca. Jujur, saya malu.

“Baiklah, sekarang waktunya kita mengambil pelajaran dari permainan tadi”, si mbak panitia yang lain membuka percakapan. “Ada yang ingin berpendapat?”, tambahnya.

Salah seorang peserta di depan saya mengacungkan tangan. Kalau tidak salah, ia termasuk yang mundur duluan tadi.

“Sebelumnya terima kasih kepada panitia yang sudah memfasilitasi. Permainan ini memang sederhana, tapi kena di hati saya”, ia tersenyum kecil, agak malu-malu.

“Jadi menurut saya, tongkat tadi ibarat agama kita,”

“Di awal-awal, saat dimintai pengakuan atas keimanan kita, semua orang, tanpa ragu sedikitpun meyakininya”, ia menarik nafas dalam. Hening sebentar.

“Lalu, ketika selanjutnya dimintai bukti, ternyata sebagian besar mereka yang sebelumnya penuh percaya diri menjawab ‘iya’, pada akhirnya hanya bisa mengatakan ‘tidak’. Bahkan semakin tertinggal di belakang, terima kasih”, Tepuk tangan bergemuruh. Matanya yang berkacamata, berkaca-kaca.  

*disadur dari pengalaman pribadi seorang sahabat sekaligus guru


 #OneDayOnePost #HariKesebelas #SemangatIstoqomahManfaat

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)