Bagaimana Jika Anak Menangis saat Jamaah di Masjid?
Senang sekali rasanya melihat
anak-anak kecil pergi ke masjid. Tidak terbayang, betapa bahagianya orang tua
mereka ketika kebiasaan itu berlanjut hingga dewasa. Tanpa disuruh, tanpa
iming-iming atau pun ancaman. (Sebentar ya, saya ingin berdoa: Ya Allah, semoga
kelak Engkau karuniakan anak-anak yang seperti itu juga juga untuk hamba.
Amiiin. Amin-nya sengaja saya kencangkan, agar anak saya yang insyaAllah masih
di surga sana mendengarnya. Silakan turut mengamini, agar malaikat berseru
‘semoga bagimu juga yang demikian’, sebuah transaksi saling menguntungkan saya
kira)
Biasanya, mereka akan berlari
kesana-kemari sebelum imam datang. Pakaian
solatnya pun lucu-lucu dan beraneka ragam, membuatnya terlihat semakin
menggemaskan. Yang putra banyak yang memakai sarung bergambar tokoh-tokoh
kartun yang sering mereka lihat di tivi. Yang putri juga tidak kalah, mukena
mereka aneka warna, ada yang kuning dengan gambar spongebob di bagian renda, ada lagi warna merah muda dengan gambar
strawberry besar di bagian kepala, belum lagi sajadah unyu yang sekaligus bisa dipakai tas itu. Rasanya pintar sekali
para produsen ini membaca pasar, kreatif, inovatif sekaligus edukatif.
Kebiasaan pergi ke masjid tersebut tentu saja
bukan semata-mata dapat dicapai hanya dengan membelikan mereka mukena atau
sarung gambar Tom and Jerry saja,
melainkan harus dilatih sedini mungkin, terus menerus dan disiplin dari kedua
orang tuanya. Tentu saja ini bukan hal yang mudah, tidak semua orang telaten melakukannya. Diantara mereka,
banyak yang khawatir anaknya mengompol atau menangis ketika sholat.
Masalah mengompol, mungkin masih
bisa diatasi dengan mengenakan diapers,
kalau toh mau hemat, tidak ada
salahnya jika hanya memakaikannya sewaktu pergi ke masjid. Tentu dengan catatan
tetap menjaga kebersihannya. Dengan begitu saya rasa masalah ini selesai, yang
sering bikin kisruh adalah saat si anak menangis. Iya kalau menangisnya
menjelang salam, nah bagaimana kalau sejak takbiratul ikhram sudah rewel?
Alamak, rasanya ingin menghilang saja kalau saya jadi ibunya.
Seperti kejadian tadi pagi ketika
sholat gerhana matahari. Sholat sunnah ‘langka’ ini tentu saja banyak menarik
perhatian umat islam. Begitu juga dengan penduduk yang berada di sekitar masjid
dekat tempat tinggal saya. Jika pada jamaah-jamaah solat wajib shaf hanya penuh
di baris pertama, itu pun sebagian besar makmum masbuk, maka di solat sunnah yang
dimulai pukul 07.00 kali ini, shaf sudah mulai terisi sejak pukul 06.00 pagi.
Jamaah yang hadir pun dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, anak-anak
SMP yang sekaligus melaksanakan tugas dari guru agamanya, ada orang-orang tua,
ibu-ibu beserta anak-anak kecil, bahkan saya melihat seorang keluarga pasien
turut berpartisipasi, kebetulan masjid tersebut memang berada di dekat rumah
sakit, terbukti ia membawa sebuah box putih bertuliskan “Tuang Tulip” beserta
map besar berisi laporan kesehatan si pasien.
Solat gerhana memang sedikit
berbeda dengan sholat sunnah lainnya, dalam dua rakaat total ada empat kali
membaca surat al-fatihah, surat selain fatihah, berikut rukuknya. Surat yang
dibaca pun cenderung surat-surat panjang karena sunnahnya memang demikian. Sehingga kurang lebih setengah jam kami lalui
untuk menyelesaikan dua rakaat tersebut. Dan ditengah-tengah berlangsungnya
solat dengan khidmat inilah sebuah tragedi terjadi. Tepat. Apalagi kalau bukan
tragedi anak menangis. Meski sang imam sudah menggunakan pengeras suara,
perlahan ada suara lain yang berusaha menyainginya. Semakin lama semakin kencang,
ajaibnya lagi, suara itu tetap bertahan hingga rukun salam tiba. Bisa terbayang
apa saja yang ada di fikiran kami kala itu. Salah satunya: Orang tuanya kemana aja!!. Serba salah memang, bisa jadi si ibu eman jika harus membatalkan solatnya.
Jarang-jarang, kan. Namun disisi lain, tentu saja lengkingan tersebut sedikit
banyak berkontribusi membuyarkan konsentrasi jamaah lain, dan sangat mungkin,
ibunya sendiri pun meski keukeuh
solat akan tetap kepikiran dan merasa bersalah.
Belajar dari situ, saya sendiri
mendapat beberapa catatan untuk mengatasi anak yang menangis di masjid.
Berdasarkan ekperimen ibu kepada adik saya yang berumur satu tahun, tips ini
memberikan hasil yang menggembirakan,
1.
Biasakan mengajak mereka ke masjid sedini
mungkin
Ibu mulai mengajak adik saya ke masjid sejak usianya menginjak 4-5 bulan.
Bukannya belum bisa apa-apa? Memang benar. Kala itu saat pulang kampung, saya
selalu kebagian membawa kasur bayi, lengkap dengan bantal dan selimut. Kami
biasanya membawa adik saat jamaah shubuh dan magrib saja ditambah isya sesekali.
Dzuhur dan ashar belum pernah, kasian kalau kepanasan di jalan, kata ibu.
Keuntungannya ada dua, pertama ibu tidak perlu khawatir jika di rumah
tidak ada yang menjaga. Kedua, kebiasaan ini membuat adik mengenal dan terbiasa
dengan suasana masjid. Karena seringkali sebelum bangun ia sudah berada di
masjid, maka lama-kelamaan ia tidak lagi panik jika saat membuka mata sudah
banyak orang-orang berpakaian putih berdiri disekelilingnya, suasana hening dengan
tiba-tiba “amiin” serentak, serta berbagai situasi di masjid lainnya.
2.
Bawakan mainan atau benda yang dapat menyibukkannya
Selain membawa kasur bayi, ibu selalu berpesan kepada saya untuk membawa
susu botol, boneka, baskom, atau benda apa saja yang sekiranya bisa mengalihkan
perhatian adik saya. Bagi bayi yang belum bisa berjalan, mereka cenderung
mencari pegangan. Mengambil apapun yang bisa dijangkaunya, dibolak-balik,
diputar-putar, dibuat mainan. Jika sudah selesai ‘pengamatan’nya, maka ia akan
mencari benda lain. Di sinilah kegunaan saya membawakan berbagai macam benda di
rumah, berganti-ganti. Dengan begitu, ia tidak akan bosan. Adik akan sibuk
dengan ‘penelitian’nya, dan menjadi tidak punya waktu untuk menangis.
3.
Jaga secara bergantian
Sama halnya dengan anak muda jaman sekarang, adik saya juga suka galau
jika didiamkan, ia akan merasa sendiri, kesepian. Tapi sepertinya hal ini juga
berlaku pada sebagian besar bayi lain. Dan solusinya adalah, saya dan ibu saya
akan bergantian menjaganya. Tapi kami berdua tetapi ikut solat berjamaah. Kok bisa?
Bisa.
Jadi aturan mainnya seperti ini, awalnya saya solat seperti biasa, ikut
jamaah, sedangkan ibu saya menjaga adik. Kemudian saat tahiyat akhir, ibu akan
menyusul sebagai makmum masbuk. Ketika sudah salam, ganti saya yang menjaga.
Alhamdulillah, selama ini, jeda waktu antara tahiyat akhir dengan salam tidak
terlalu membuat adik saya galau. Kalau pun sedang tidak ada saya, Ibu sering
berpesan dan meminta tolong kepada tetangga atau Ayah sebelum sholat.
Oh iya, manfaat lainnya adalah kami bisa mencegah adik dari perilaku yang
tidak diinginkan. Pernah waktu itu tidak sengaja, adik berjalan-jalan tanpa
dosa sambil membawa dompet salah seorang
tamu masjid.
4.
Lebih baik batal sendirian daripada mengganggu
seisi masjid
Ini
opsi terakhir kalau kami kecolongan. Ibu akan membatalkan shalatnya meski sudah
hampir selesai. Alasannya, ya.. nomer empat itu. Toh Ibu masih bisa sholat
lagi.
Sekian. Semoga bermanfaat J
#OneDayOnePost #HariKedelapan #SemangatIstiqomahManfaat
Sangat bermanfaat.^^
BalasHapusBisa jadi bekal dari sekarang nih.
Makasih. ^^
Oiya, gaya menulisnya keren.
Wahh ntar bisa diterapkan kalo udah punya adek bayi sendiri..hehe
BalasHapus*elus2 perut
#ehh..cari bapaknya dulu deng.. 😂😂😂
baguuuussss....
BalasHapusbaguuuussss....
BalasHapusThe next good writer (y)
BalasHapusMiss Hazimaaa!
Makasih mampir mba,
HapusSampean dicari elhaa :D
Keren tipsnya, semoga bisa menjadi semangat bagi kaum ibu2 untuk memakmurkan masjid
BalasHapusTerimakasih kunjungannyaa :D
BalasHapus