Ini Bukan tentang Presiden, Ayah, atau Anaknya

Ada manusia, yang dalam dua puluh empat jam bisa mengurus jutaan orang. Ada lagi, yang dalam dua puluh empat jam mampu menghidupi beberapa orang. Tapi ada juga, yang dalam dua puluh empat jam, mengurus diri sendiri saja kesulitan.”. (Sayang sekali, Saya lupa siapa yang menulis dan bagaimana redaksi aslinya. Yang jelas, saya ingin berterima kasih karena kalimat bijak ini seringkali membuat saya gelisah saat mencoba bermalas-malasan)
Cerita tentang orang pertama :

Saya tidak tahu secara pasti kronologinya seperti apa, hanya saja ikut sesak sampai sekarang. Malam lalu, saya ditakdirkan melihat sebuah video berdurasi dua belas detik yang dibagikan melalui akun line oleh seseorang yang tidak saya kenal. Ketika melihat keterangan waktu, bisa disimpulkan bahwa video singkat tersebut baru saja diunggah dua jam sebelumnya, namun notifikasi share, like dan komentarnya sudah ribuan.

Dari balik layar ponsel imut saya, terlihat seorang lelaki paruh baya, pengemudi salah satu ojek online, dikeroyok tanpa ampun oleh sekelompok supir taksi yang sedang unjuk rasa. Adegan nyata tersebut mengabarkan betapa negeri ini sedang sirosis sekarang. Kian mengeras. Belum lagi, berbagai peristiwa luar biasa yang setiap hari mengantri untuk bergantian menghiasi layar kaca. Semakin hari, ada-ada saja biang keladinya. Masih mending mati satu tumbuh seribu, disini satu penyakit belum mati, sudah muncul seribu penyakit lainnya. Betapa rumit komplikasi masalah yang tengah merundung ibu pertiwi. Betapa pusingnya jadi Jokowi, orang yang dalam dua puluh empat jamnya dipikulkan beban mengurus jutaan manusia penghuni NKRI. Membayangkannya saja saya bergidik. Beliau orang hebat.

Cerita tentang orang kedua :

Ayah saya bukan presiden. Jadi tanggungannya tidak sebesar orang pertama. Meski demikian, saya akan menjadi orang pertama yang membela jika ada yang mengatakan beliau bukan orang hebat. Kehebatan yang pertama adalah, dengan profesinya sebagai pegawai KUA, beliau mampu menghidupi empat orang perempuan di rumahnya dengan sangat baik. Ayah memang satu-satunya pejantan dikeluarga kecil kami.

Bukan hanya memenuhi kebutuhan jasmani, beliau juga rajin memberikan siraman rohani agar nurani kami tetap tumbuh sehat. Metode pembelajarannya jarang sekali lewat teori atau kata-kata. Melainkan dengan langsung memberi contoh. Dan sejauh ini, cara tersebut sangat efektif bagi saya. Pernah suatu ketika, beliau ingin memberikan materi perjuangan sekaligus kesederhanaan kepada saya. Si anak sulung yang sedikit banyak mulai berkenalan dengan tren anak kota jaman sekarang. Salah satu materinya disampaikan saat saya pulang kampung. Waktu itu kebetulan saya naik bus agak malaman, sehingga terpaksa minta jemput Ayah di terminal pukul 10.00 malam. Jarak rumah saya dengan terminal sekitar 25-30 km, dan kebetulan lagi saat itu sedang hujan deras.

Sebenarnya saya merasa bersalah waktu itu, hujan-hujan, malam-malam, Ayah pasti lelah. kebetulan lagi, beliau sms menyuruh saya menunggu sebentar jika terlambat menjemput karena harus mantenan (mengijabkan pengantin)dulu di kecamatan seberang, yang kira-kira berjarak 15 km dari rumah dan dengan arah berlawanan dari terminal. Tidak terbayang beliau akan riwa-riwi nantinya.

Tapi kemudian rasa bersalah itu saya tepis, toh di rumah juga ada mobil, tidak terlalu capek lah meski bolak balik. Lagipula ini masih hujan, tidak mungkin Ayah pakai sepeda motor.

Akhirnya saya sampai di terminal. Setelah turun dari bus, saya mencari-cari mobil Ayah. Ternyata belum ada. Saya pun menirim sms, mengabarkan jika sudah sampai dan menunggu di samping pintu keluar. Karena sudah biasa dengan situasi terminal, ditambah arloji yang sudah menunjukkan pukul 22.20 WIB, saya mencoba untuk mengobrol dengan seorang tukang ojek dan seorang bapak yang juga sedang menunggu anaknya. Ini lebih aman saya kira, daripada harus berdiri seorang diri.
Beberapa menit kemudian, sebuah sepeda motor menghampiri saya. Karena hujan belum begitu reda, si pengendara memakai jas hujan. Awalnya saya berpikir ia adalah tukang ojek yang juga ingin menawarkan jasa. Namun betapa terkejutnya, saat membuka helm, ternyata wajah ayah saya yang muncul. Lengkap dengan senyum khasnya.

Bukannya balas tersenyum, spontan saya malah protes dan mengomel, disamping saya sendiri sudah lelah karena sedari tadi berada di perjalanan dan masih harus menunggu lama, saya juga kasihan dengan beliau, berniat sekali menyusahkan diri sendiri. Satu lagi yang membuat saya geram, Ayah mempunyai luka terbuka di punggung kaki kanannya sejak empat tahun silam, akibat kecelakaan sewaktu menjenguk saya di pondok dulu. Diabetes menghambat penyembuhan lukanya, dan kehujanan seperti ini tentu saja sangat tidak baik bagi luka basah seperti itu.

Menanggapi saya, beliau hanya mengatakan, “Ora popo, wis kulino soro” (baca: tidak apa-apa, sudah biasa susah)sambil menyodorkan helm dan menggodai anaknya yang rewel.

Mendengarnya, saya tidak membantah. Rasa lelah dan kesal yang saya rasakan mendadak menguap. Berganti rasa haru yang membasahi hati. Yang kemudian menjalar pada pelupuk mata. Tanpa sepengetahuan Ayah, saya menangis di sela-sela hujan malam itu. Saya memeluknya erat, menyesali kebodohan yang baru saja saya lakukan.

Cerita tentang orang ketiga :

Saya tidak ingin menuliskan siapa pun di sini. Meski dari kebiasaan sehari-hari sering mengarah ke sana, saya tetap tidak mau mengakuinya. Karena di sini, sebenarnya saya sedang memotivasi diri sendiri. Bahwa ternyata, ketika saya sedang malas untuk membuka buku, ada seseorang di rumah yang rela menghemat uang belanja demi bisa mengisi ATM saya. Demikian juga, saat tanggung jawab beberapa amanah mulai saya abaikan, maka saat itu juga, ada orang-orang di luar sana yang sedang memperjuangkan kebahagiaan orang banyak.

Sekali Lagi, ini bukan soal Presiden, Ayah, atau anaknya. Namun, ini perihal nilai dua puluh empat jam yang mereka habiskan.   



#OneDayOnePost  #HariKeSembilanBelas  #SemangatIstiqomahManfaat    

Komentar

  1. Mbak nabeela aku jd pengen nangiss gara2 baca ini..😢😢😢

    BalasHapus
  2. Terharuuuu....pengingat diri kembali..makasih mb nabeela

    BalasHapus
  3. Terharuuuu....pengingat diri kembali..makasih mb nabeela

    BalasHapus
  4. Kita semua mempunyai dua puluh empat jam yang sama....
    Tinggal bagaimana menjadikannya lebih bermanfaat ^^

    BalasHapus
  5. Tamparan telak di wajah saya. Semoga rasa malas dijauhkan dalam diri kita.

    BalasHapus
  6. Ini soal 24 jam yang kita habiskan.
    Hmmm... *ngecek kegiatan sendiri, "Sudahkah bermanfaat"?

    BalasHapus
  7. Saya suka dengan bagian menagis dibelakang punggung Ayah. Aku terharu.. :)

    BalasHapus
  8. Waktu bak pedang, bisa menyembelih kpana sja...

    Mantap...

    BalasHapus
  9. bagi saya, menulis cukup ampuh sebagai pengingat diri... bisa flashback apa yang terjadi selama 24 jam terakhir, untuk apa saya habiskan... pun dengan 24 jam-24 jam sebelumnya...

    like this nabela ;)

    BalasHapus
  10. terimkasih tulisannya mb. mengisnpirasi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)