Fourth Challenge : The Miracle of Childhood

 Masa kecil memang selalu menarik untuk dikenang, berbuah tawa saat dibicarakan, juga tak pernah bosan meski kisahnya diulang-ulang. Betapa ajaibnya masa itu. Hanya ada hak, hak mendapat kasih sayang, hak memperoleh pendidikan, hak hidup dan sebagainya. Tak ada kewajiban, pun ada, kewajibannya hanyalah menuntut semua hak tadi.

Begitu mudahnya bahagia kala itu. Tidak peduli jika sebelumnya sempat menangis menggebu menginginkan sesuatu, selanjutnya dalam sekejap bisa saja segera tersenyum puas hanya dengan kalimat “Besok ya nak, Ibu lupa ndak bawa uang”, meski pada akhirnya si anak ikut lupa jika pernah menginginkannya, sebab “besok” yang dimaksud si Ibu tidak kunjung datang.

                Sore itu, sepulang mengaji, sekelompok bocah berusia sembilan sampai sepuluh tahunan bekumpul di halaman luas milik salah satu rumah tetangga mereka. Tempo hari, mereka saling berjanji untuk mengadakan sebuah turnamen antarteman sepermainan, saat itu bak boy disepakati lantaran salah satu dari mereka baru saja dibelikan bola baru oleh ayahnya.

Seorang anak laki-laki berlarian membawa bola kasti, bersiap melemparkannya ke arah seorang gadis kecil kepang dua. Oh bukan, tepatnya ke arah teman di sebelahnya. Gadis kecil itu memang sudah didaulat untuk menjadi pupuk bawang dalam permainan apapun. Teman-temannya sudah paham kalau ia selalu menangis saat kena bola atau kebetulan kalah, mereka tidak mau ambil resiko.

Meski begitu, tidak ada yang membenci gadis kecil itu. Mereka tetap sering bermain bersama, laki-laki perempuan, semua sama. Permainan yang digelar pun bermacam-macam. Mulai petak umpet, lompat tali, gobak sodor, benteng, sampai bak boy seperti yang mereka lakukan sore itu. Terkadang mereka juga memasak bersama. Diawali dengan membagi job deskripsi, ada yang bertugas membawa peralatan masak yang terbuat dari tanah liat, mencari daun bayam untuk dijadikan sayur, mencari kayu bakar di pekarangan, menimba air sumur, ada juga yang diamanahi untuk menguntit garam dan korek api dari dapur ibunya.

Setelah semua alat dan bahan terkumpul, mereka mulai bereksperimen. Menyalakan kayu bakar, memasukkan air ke dalam kaleng susu yang telah disulap menjadi panci, menambahkan berbagai dedaunan, tak lupa garam dan sedikit bawang yang tadi tidak sengaja ikut terbawa saat mencari korek di dapur. Di tengah kepulan asap yang sesekali mengudang air mata itu, wajah mereka tetap sumringah. Menunggu gelembung-gelembung air bermunculan di panci, pertanda masakan mereka siap makan. Kala sayur dianggap sudah matang, salah seorang dari mereka akan pulang, mengambil sepiring nasi dan kembali bersama beberapa buah tempe goreng diatasnya. Selanjutnya, mereka makan besar. Meski sesekali mengernyit karena keasinan, makanan mereka tetap habis tanpa sisa. Tampaknya, kebersamaan telah menyihir lidah dan perut mereka. Buktinya tidak pernah ada yang menolak makan atau pun diare setelahnya.

Tidak puas bereksplorasi pada sektor pangan saja, bocah-bocah tengil itu juga mencoba peruntungan di sektor papan. Kali ini ide brilian mereka adalah membangun sebuah tenda untuk dipakai tidur pada malam harinya. Mereka akan pergi berkemah di depan rumah Pak RT. Pertimbangannya lokasi tersebut cukup strategis karena berada di tengah-tengah tempat tinggal mereka. Cara kerjanya tidak berbeda dengan saat masak, mereka juga membagi job deskripsi dan mulai mengerjakan bagiannya sendiri-sendiri tanpa melupakan asas gotong royong. Hanya saja, jika seusai masak mereka bisa menikmati hasil jerih payahnya, maka kali ini mereka hanya bisa berpuas diri dengan melihat bangunan tenda mereka tidur sendiri di halaman. Sedang mereka harus rela dipulangkan tatkala perijinan dari masing-masing orang tua mandek tanpa bisa dinego.

Satu lagi yang sulit dilupakan adalah ketika masuk purnama. Biasanya, setiap anggota keluarga akan keluar rumah dan berkumpul di halaman tetangga sekitar. Bukan untuk selfi, bukan. Bukan juga untuk update status bertagar kumpul bareng keluarga. Atmosfer dahulu berbeda, lebih kondusif. Saat berkumpul seperti malam itu, maka segenap jiwa dan raga mereka akan berada di sana, bukan saling berpisah di pintasan sosial media. Alhasil, malam purnama pun sukses menjadi malam yang selalu dirindukan. Akan ada cerita-cerita penuh hikmah dari kakek nenek, akan ada gelak tawa yang meledak tersulut tingkah polah para bocah. Tidak tertinggal, para orang tua akan saling berbagi perihal anaknya yang mulai susah disuruh pulang kala petang. Sebaliknya, para anak juga saling mengadu perihal orang tuanya yang selalu menyuruh pulang. Benar-benar mengesankan.

#OneDayOnePost #HariKe-16 #SemangatIstiqomahManfaat      

         
 


Komentar

  1. memang memyenangkan jd anak-anak

    BalasHapus
  2. Masa-masa penuh kejujuran, senyum tulus dan tawa riang menghiasi hari...
    Masa-masa kanak-kanak 😊

    BalasHapus
  3. Masa-masa penuh kejujuran, senyum tulus dan tawa riang menghiasi hari...
    Masa-masa kanak-kanak 😊

    BalasHapus
  4. masa-masa kecil yg tak terlupakan...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)