Kado pernikahan (2)
“Assalamualaikum, Rindu!”,
lelaki itu mengulang salamnya, menyadari perempuan di depannya belum merespon.
“Eng.. Koh Kun? Pulang kok nggak kabar-kabar?”, tanya Rindu kaget
sekaligus bingung.
“Iya, Rin. Handphoneku
mati. Ndak isa telpon kamu, untung
udah janjian sama Shen di lobby bandara
tadi”. Mendengar nama Shen, Rindu menjadi tidak tenang. Matanya sigap mencari-cari
ke arah pintu.
“Dia lagi langsung ke rumah tadi, nanti jemput lagi”,
sambung Koh Kun seolah bisa membaca pikiran Rindu. “Oya, ada yang mau Koh
bicarakan sama kamu. Habis gini ke atas ya, suruh Samsul gantiin kamu dulu.”
“Oh, Iya Koh”, jawab Rindu singkat. Menerawang apa yang
kira-kira akan ia dengar dari Koh Kun.
***
Malam harinya,
Usai sholat Isya Rindu tidak langsung bergegas ke surau membantu Bu Irma
mengajar ngaji seperti biasanya. Ia
sengaja izin dengan alasan tidak enak badan tadi sore. Belum sampai melepas
mukena, buru-buru ia disandarkan kepalanya yang terasa berdenyut di pangkuan Ibunya.
Sebenarnya Rindu tidak sedang ingin mengatakan apa-apa, setidaknya berada di
dekat Ibunya saja akan mengurangi beban pikirannya. Namun pandangannya yang
kosong membuat sang Ibu segera mengerti maksud hatinya. Tanpa diminta,
diusapnya kepala putrinya itu.
“Dua-duanya baik, Nduk.
Ibu suka dua-duanya. Hanya saja menurut Ibu, Shen lebih pendiam dibanding
Bintang”, Bu Erni membuka percakapan.
“Loh, Ibuk pernah tau Bintang?”, mata Rindu mengerjap tak
percaya, belum pernah sekalipun ia singgung-singgung nama itu kepada Ibunya.
“Dia tiga kali kesini waktu kamu nggak di rumah, terakhir
sama kakaknya yang dari Jogja.”
Rindu hanya ber-O panjang tanpa suara.
“Menurut Ibuk, aku musti gimana.. Tadi siang Koh Kun malah nanya
langsung sama Rindu..”
“Iya Ibuk juga tahu, sebelum nanya ke kamu, Koh Kun juga
kesini sama Shen”. Rindu segera memperbaiki posisinya. Sepertinya diskusi penting
ini harus segera dibahas malam ini. Toh Rindu tidak perlu lagi susah payah
menjelaskan agar Ibunya mengerti seperti yang sebelumnya ia takutkan. Wanita di
depannya itu sudah tahu duduk permasalahannya. Dan biasanya kalau seperti ini,
Ibunya juga akan tahu dimana letak jalan keluarnya.
“Yaudah, menurut Ibuk gimana? Rindu manut..”
“Kamu ini… Sebentar Ibuk tak ke kamar dulu”, Bu Erni
bangkit, merapikan mukena lalu pergi ke kamar tidur. Begitu kembali, tangannya
sudah membopong setumpuk buku.
Menjadi Keluarga Ahli
Surga. Be a Wondeful Wife. Hakikat Menikah. Cinta dan Pernikahan. Suami Dunia Akhirat.
Romantisme Khadijah-Muhammad. Menikah, Haruskah Cinta? dan beberapa
judul-judul sejenis yang terbaca olehnya sekilas. Sambil mengamati satu-persatu
sampul dan menyibak dengan asal halaman demi halaman, Rindu menebak-nebak sejak
kapan Ibunya punya buku sebanyak ini.
“Masalah ini, Ibuk ingin kamu yang putuskan sendiri, Nduk. Yang bakal njalanin kamu. Ini ada beberapa buku buat nambah wawasanmu. Menikah
nggak cuma soal kamu suka siapa, kamu sendiri lebih paham apa yang kamu butuhkan
nanti. Kalau masih bingung, coba istikharah.”
***
Beberapa hari berikutnya Rindu
sibuk menamatkan buku-buku dari Ibunya. Di toko, surau, kamar, bahkan saat
mengantar Ibunya ke pasar tangan Rindu nyaris selalu memegang buku. Membacanya
sambil berjalan, bahkan tak jarang sampai ketiduran. Rupanya buku-buku itu mulai
membuka wawasannya tentang menikah. Meski masih tetap bimbang, namun
pelan-pelan Rindu mulai bisa menimbang kepada siapa kira-kira pilihan itu akan
ia jatuhkan.
Setelah
beberapa kali berdiskusi panjang dengan Ibunya, Bu Irma, juga teman-temannya. Akhirnya
Rindu membulatkan tekad untuk menerima Shen menjadi bagian dari kehidupannya.
Kematangan Shen soal agama, juga kedekatan keluarga mereka menjadi dua point penting
yang sulit ia abaikan. Meski saat ia hatinya masih terbawa oleh Bintang di
negeri sakura, namun ia yakin seiring berjalannya waktu perasaan itu akan
kembali kepada Shen. Setelah Rindu secara terang mau mengiyakan permintaan Cik
Fai, perlahan semuanya juga mulai terlihat lebih mudah. Baik Shen maupun koh
Kun menjadi lebih sering berkunjung ke rumahnya, mereka mulai merencanakan
resepsi dan sebagainya. Cik Fai ingin segera menimang cucu selagi masih diberi
kesempatan bernafas.
Ditengah bertambahnya kesibukan
Rindu mengurus toko juga keperluan menikah. Sayangnya, ada satu lagi yang belum
ia lakukan. Bintang belum tahu apa-apa soal ini. Beberapa minggu ia tidak
menelepon, hanya sesekali mengirim pesan bahwa jadwalnya sedang padat dan
berjanji akan menghubungi kalau sudah senggang. Rindu sendiri masih belum cukup
nyali untuk memangkas kedekatan mereka begitu saja. Di satu sisi ia merasa telah
bertindak sangat tidak adik kepada Bintang, dengan secara sepihak mengingkari
mimpi besar yang pernah mereka bangun bersama.
***
(Bersambung)
#OneDayOnePost
Yaah, masih bersambung lagi.
BalasHapus