Bagian-1

Dik? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Selepas dzuhur, ku tunggu di kantin kantormu. Sudah lama kita tidak makan siang bersama.

Beberapa minggu tidak ada kabar, akhirnya sebuah pesan singkat dari mantan pacarnya sampai di ponsel Nawang. Ada sedikit perasaan ragu dalam hatinya. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Apapun itu, Nawang harus siap menerimanya. Ia sudah bertekad.
“Bagaimana tanggapan Ibumu mas?”

Rahman sibuk mengamati suasana kantin, pura-pura tidak mendengar. Meskipun itu inti dari kedatangannya jauh-jauh dari desa, ia masih enggan membahas masalah itu terlebih dahulu. Rahman lebih ingin melepas kerinduannya selama ini.

Kondisi keluarganya membuat Rahman memutuskan untuk resign dari perusahaan yang menjadi awal titian karirnya sebagai pegawai akuntan. Kondisi Ibunya yang mulai sakit-sakitan, ditambah tiga adik perempuannya yang sudah yatim, membuatnya rela berpisah dari Nawang. Staff administrasi yang dikenalnya dua tahun silam. Gadis kalem yang selalu berhasil memenangkan hatinya.   

“Kantinnya tidak banyak yang berubah ya… Oh ya, Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan dulu.”, ujar Rahman sambil menyodorkan daftar menu.

“Oh.. Iya mas, aku mau… apa ya? Em.. nasi bakar jamur sama es jeruk aja deh”

Mendengar jawaban Nawang, Rahman mengernyitkan dahi, “Sejak kapan kamu suka jamur? Itu kan kesukaanku, niru-niru ih.”

“Lah, biarin lho..”

Nawang tersenyum. Rahman tidak tahu, jika selama ini pemilik nama lengkap Ardini Nawang Wulan itu telah banyak belajar memasak berbagai makanan kesukaannya. Nawang tidak ingin, jika setelah menikah nanti, Rahman kecewa lantaran istrinya tidak bisa membuatkan menu favoritnya dari kecil. 

Tidak sampai dua puluh menit, dua porsi nasi bakar jamur beserta dua gelas es jeruk telah tersaji di meja mereka.

“Alhamdulillah… akhirnya sampai juga, kering nih kerongkongan dari tadi kamu wawancarai”, Rahman membasahi kerongkongannya yang sedari pagi belum dilewati makanan.

“Loh, Kok jadi nawang? Mas sendiri yang cerita..”

“Hehehe, yaudah makan dulu yuk”

Bagi Rahman, makan siang kali ini terasa begitu spesial. Menikmati suap demi suap nasi sambil mendengarkan Nawang berceloteh kesana-kemari, rasanya ia tidak ingin mengabiskannya cepat-cepat. Sesekali mereka bercanda. Sesekali Rahman memperhatikan wajah teduh berbalut jilbab didepannya.  Berat untuknya memulai diskusi penting itu, Ia masih ingin melihat keceriaan Nawang lebih lama.
Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 01.35, lima belas menit lebih lambat dibanding jam di kamar Rahman. Malam lunas menghadiahi gelap dan sepi kepada bumi yang diselimutinya. Jalanan sedari tadi lengang, terlebih jalan milik sebuah desa kecil seperti di tempat Rahman. Tampaknya sebagian besar penduduk sudah terlelap bersama mimpi mereka masing-masing, mimpi tentang esok yang selalu menjanjikan harapan, melepas sejenak segala resah akibat gagal panen serentak pekan lalu. 

Di tengah kubikal 3 x 2 meter kamarnya, seorang pemuda belum juga bisa memejamkan mata. Rahman belum ingin tidur meski besok pukul lima ia berencana pergi ke luar kota. Kali ini bukan karena gagal panen yang juga menimpa keluarganya, namun perihal kebahagiaan seorang perempuan yang sedang ia pertaruhkan.


Kepada Ibunya, Rahman amat penurut. Bagaimanapun, Ia sangat mencintai Ibu dan ketiga adik perempuannya. Tapi belakangan, ada wanita lain yang juga ingin ia perjuangkan. Malam ini, Rahman harus membuat keputusan. Sebisa mungkin, ia tidak ingin ada yang terluka.     


(Bersambung) (Maaf, Judul masih dalam perjalanan :D)  

#OneDayOnePost #HariKeTujuhBelas #SemangatIstiqomahManfaat

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)