Bulan Ketiga Belas (2)
Deru mesin kereta mengisi seluruh ruangan rumah Yanto. Bangunan tingkat
dua yang ala kadarnya itu nyaris hanya berjarak dua meter dari rel kereta api.
Tak heran jika setiap berapa jam sekali suasana jadi bising dengan ubin terasa
bergetar. Beruntungnya, selama tinggal di sana belum pernah ada berita kereta
anjlok di sekitar kawasan padat penduduk itu.
“Sudah siap-siapnya?”, Yanto menyingkap korden usang yang berfungsi
sebagai pintu kamar. Anak kecil yang tengah sibuk memegang botol susu sudah
dari tadi digendongnya dengan tangan satu tangan.
“Eh, iya sebentar lagi, mas. Mas bawa barang ke bawah dulu aja, Doni
biar sama aku dulu”, usul Erni kepada suaminya, pandangannya tidak lepas dari
cermin. Usai memakai gincu, ia mematutkan diri beberapa saat. Mengamati setiap
inci wajahnya, siapa tau ada yang terlewati bedak. Yanto menurut, meletakkan
bocah laki-laki berusia lima tahun itu di bibir bayang, lalu bergegas mengambil kardus mie instan yang berisi
barang.
“Doni dapet susu dari mana? Dibeliin bapak tadi?”, mata Erni berbinar menatap
sosok mungil di depannya. Ia merapatkan lututnya ke bayang agar tinggi mereka sejajar.
“Hadiah dari Tante Winda, sruup..sruuup,” jawab Doni sambil tetap menyeruputi
susunya yang mulai habis. Erni hanya tersenyum melihat tingkah lucu buah
hatinya, menciumnya dengan gemas lalu menggendongnya menyusul Yanto yang sudah
kepanasan menunggu di atas Astrea miliknya.
Motor tua itu terlihat overload,
dibebani dua kardus mie instans yang ditumpuk di bagian depan, satu tas
punggung, juga bobot ketiga juragannya. Sejurus kemudian, mereka melesat
menyusuri gang-gang sempit, beberapa lampu merah, hingga akhirnya tiba di stasiun
kereta.
Buru-buru Erni membantu Yanto membawa barang bawaan. Kereta ekonomi
dengan tujuan akhir stasiun gambir sudah standby,
menurut tulisan yang tertera di tiket sepuluh menit lagi akan berangkat.
Karena pengantar tidak boleh masuk ke dalam gerbong, maka Erni segera
berpamitan di samping pagar pembatas. Mencium tangan suaminya dengan mata
terpejam beberapa saat, disusul kecupan mesra Yanto tepat di ubun-ubunnya. Erni
bukan tipe wanita yang mudah menangis, maka di upacara perpisahan kali ini ia
juga tidak tampak berlinang air mata. Meski ia akui dadanya sedang sesak tak
terkira. Terakhir dipeluknya Doni erat, berpesan jangan nakal selama Ibunya
tidak dirumah. Langkahnya lalu menjauh saat petugas kembali mengumumkan bahwa kereta
sebentar lagi akan berangkat.
Sebulan yang lalu, Bu Rini, tetangganya yang bekerja di Hongkong pulang kampung.
Ia telah menjadi TKI sukses. Meski mengaku hanya bekerja sebagai tukang masak
di sebuah rumah pengusaha kaya, namun setiap bulannya beliau mampu memberi
kiriman dalam jumlah besar kepada anaknya yang sudah SMA. Sebenarnya Yanto
tidak langsung menyetujui permintaan istrinya untuk mengikuti jejak Bu Rini,
tetapi dua bulan lalu mertuanya baru saja meninggal setelah sebelumnya sakit
keras dan memaksanya berhutang sana-sini. Lagipula Erni tidak sendiri, ia akan
berangkat bersama Bu Rini yang sudah berangkat terlebih dahulu ke Jakarta untuk
mengunjungi saudaranya.
Dua tahun saja. Rayu Erni kala itu, setelah itu ia berjanji akan pulang. Menggunakan sebagian gajinya untuk modal buka warung.
bagaimana kisah Doni selanjutnya?
BalasHapusDulu sebelum jadi TKI aku juga bilang gitu sama keluarga, "dua tahun saja." tahu tahu nyambung kontrak #bukancurhat hehe... beruntung aku belum punya Doni.
BalasHapus