Belajar Jadi Imam


Ketika masih berada di pesantren. Saya paling phobia menjadi imam. Bahkan ketika saya sudah naik ke tingkat dua dan diberi amanah untuk menjabat sebagai salah satu pengurus Divisi Kesantrian, penyakit saya itu tidak kunjung sembuh, malah semakin kronis. Bukan tanpa alasan. Pertama, karena belum begitu hafal dzikir dan doa setelah solat. Saya baru hafal doa orang tua dan robbana atina.  Kedua, sejak awal, saya sudah menyadari sepenuh hati bahwa suara saya serak-serak jemek. Sulit menggambarkannya, tidak enak intinya. Berbeda dengan teman-teman qori’ yang suaranya masyaAllah itu. Saya kadang heran, ngaji kok bisa lungkik-lungkik gitu ya.. (yang bukan Ras Jawa, vocab ini artinya ‘meliuk-liuk’) Alhasil, ketika terpojok dan terpaksa mengimami, saya selalu memilih waktu dzuhur atau ashar. Mengapa? Cerdas. Hanya kedua solat itulah yang menawarkan bacaan sirri, alias saya tidak perlu membaca fatihah dengan mengeraskan suara. Setidaknya beban saya sedikit berkurang.

Kebiasaan tersebut terus berlangsung hingga saya lulus. Selama naik ke tingkat tiga saya berada di zona aman karena estafet kepengurusan sudah pindah ke adik kelas. Akhirnya, saya bisa menjadi makmum professional dengan leluasa. Batin saya kala itu. Hingga sampailah saya pada suatu hari, sebuah hari dimana saya mendapat balasan atas kelalaian saya di pesantren dulu. Ada yang bisa menebak? Benar.. Tanpa tedeng aling-aling, saya diusir dari zona nyaman. Saya ditunjuk teman-teman menjadi seorang imam. Tidak tanggung-tanggung, imam sholat maghrib. Waktu itu alibi mereka memang kuat, Saya paling tua dan satu-satunya lulusan pesantren katanya. Wuuu. Seketika, seperti  ada pesta di dalam dada. Bergemuruh rasanya. Irama beat-nya bahkan terlihat menggerak-gerakkan bagian depan pakaian saya.

Oh Tuhan. Sungguh Engkau Maha Memberi Kejutan. Batin saya menjerit. Oke, setelah semua mengambil wudhu dan meluruskan shaf, kami mulai solat. Dengan getar di hati yang tak kunjung mereda, saya ber-takbiratul ikhram. Alhamdulillah, rakaat pertama berjalan lancar. Allah menolong saya. Meski harus jahr atau mengeraskan suara, bacaan saya tidak ada yang tertinggal. Hingga sampailah kami pada rakaat kedua. Ternyata kebahagiaan saya tidak berlangsung lama. Benar. Taraa, tiba-tiba saya amnesia. Parahnya amnesia saya menyerang memori surat pendek yang sedari kecil saya hafalkan. Wuuu, rasanya ingin sekali saya lari sewaktu makmum saya sujud. Hmm, tak mengapa lah namanya juga pertama. Saya menghibur diri. Untung saja teman-teman memakluminya.

Sejak peristiwa itu saya mengalami guncangan. Saya malu pada almamater saya, juga kepada Tuhan. Yang memberi saya kejutan, tapi saya malah mengecewakanNya. Saya berniat bertaubat. Saya harus belajar menjadi imam. Selanjutnya, saya mencari-cari cara agar tidak lagi terperosok pada lubang yang sama. Setelah mencari banyak referensi, dan bertemu dengan dengan seorang teman (saya sengaja tidak menyebut namanya, takut pamali), akhirnya saya disarankan metode yang saya rasa pas untuk saya. Begini kira-kira;

1.       Memperbaiki cara solat
Jelas lah ya, tanggungan pemimpin selalu lebih dari yang dipimpin. Diterima tidaknya solat, imam andilnya besar. Jadi mau tidak mau, ya saya harus belajar lagi. Pasalnya, meski dari bayi sudah diajar Allahu akbar, tapi terkadang gerakan, bacaan atau cara solat kita masih saja salah kaprah. Anehnya, kita sering tidak sadar dan merasa sudah benar. Oh iya, saya pernah mendapat nasehat, sebaiknya kalau belajar masalah agama jangan belajar sendiri, asal gugling atau sekedar baca buku panduan. Akan tetapi jauh lebih baik jika kita menemui seorang guru. Les privat dengan beliau.  

2.       Mengeraskan bacaan saat solat sendirian
Memang boleh ya? InsyaAllah boleh, barusan saya cek. Kalau mau silakan dipastikan lagi. Beberapa hadist menghukumi sunnah malah, hikmahnya adalah agar memudahkan kita merenungi bacaan. Tidak usah keras-keras hingga mengganggu sekitar, cukup sampai terdengar di telinga sendiri saja. Tapi bagi saya, poin pentingnya adalah agar terbiasa melafalkan bacaan-bacaan tersebut saat harus menjadi imam.

3.       Tidak menolak tawaran mengimami ketika adik atau satu dua teman mengajak jamaah
Saya paling suka kalau berjamaah dengan adik saya. Entah mengapa, rasanya aman. Tapi meski begitu, saya rasa hal ini sangat membantu. Setidaknya melatih mental. Saya sering mendengar istilah ‘bisa karena biasa’.

4.       Membeli atau mencatat buku dzikir dan doa-doa
Ini masalah yang juga tidak boleh ketinggalan. Bagi kita yang sejak kecil dibiasakan berdzikir bersama setelah solat, tentu akan lebih baik jika saat mengimami sekaligus memimpin dzikir dan doa. Berhubung saya tipe orang yang cepat hafal dan cepat lupa. Maka saya memutuskan untuk tidak menghafalkannya secara mutlak. Saya memilih mencatat, lalu saya baca setiap usai solat dengan bersuara. Tidak butuh waktu lama, Alhamdulillah sedikit demi sedikit nyantol juga. Bagaimana tidak, sehari saja diulang lima kali.         

Menurut saya, sebenarnya semua orang harus bisa jadi imam. Tidak hanya bagi laki-laki yang sepertinya memang sudah ‘fardlu ain’ (versi saya), termasuk memimpin tahlil dan halaqah-halaqah rutin umat islam lainnya. Akan tetapi, juga kita kaum ibu (termasuk juga yang masih calon) harus turut belajar. Soalnya peran kita ganda, makmum dari suami, sekaligus imam bagi buah hati. Duh, saya sering terbawa suasana kalau bicara perihal imam-makmum seperti ini. Saya cukupkan saja ya, izin mau mengintip apakah calon imam saya sudah belajar menjadi imam atau belum. Eh. Tuh kan..
Oke, sekian. Semoga bermanfaat J Ditunggu kritik sarannya ya ! Barangkali ada yang mau menambahkan J 

#OneDayOnePost #HariKeSepuluh #SemangatIstiqomahManfaat      

Komentar

  1. tadi saya kira imam sebagai laki-laki..tapi kok Nabela..

    salam kenal mbak

    tulisannya menginspirasi

    BalasHapus
  2. Lucu mba tulisannya... Motivasi bgi yg merasa calon imam...

    Salam Odop
    ***
    Abdur-rahiem.blogspot.com

    BalasHapus
  3. hehe, terima kasih kunjungannya. Tunggu kedatangan saya :D
    Salam ODOP!

    BalasHapus
  4. Memperbaiki diri sama dengan memperbaiki jodoh.. :-)

    BalasHapus
  5. Semangat bebel nulisnya. Tulisannya bagus dan memotivasi. Kembangkan menjadi lebih lebih dan lebih baik😊😊

    BalasHapus
  6. Sangat meñginspirasi mbak:) ;)
    ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)