Gincu Penerjemah

“Arman? Ini lipstick siapa? Sejak kapan kamu punya pacar, nak? Kalian habis ngapain aja sampai-sampai lipstiknya kamu bawa?”
Ibu.

Arman baru saja membuka mata. Ternyata yang dianggapnya mimpi tadi adalah benar-benar dering dari telepon genggamnya. Terbukti, pada notifikasi ada sebelas kali miskol beserta satu buah pesan.
Setelah membalas, Arman justru tersenyum bahagia. Membayangkan bibir Ibunya kembali merekah seperti dulu. Tak butuh waktu lama, Ia telah menyusun kalimat balasan itu jauh-jauh hari.
“Kenapa baru ingat…”, gerutunya dalam hati. Melihat jarum jam mulai merangkak ke angka delapan, Arman segera bergegas ke kampus. Ia berlari-lari kecil sembari memperbaiki beberapa kancing baju yang salah masuk.

Kelas Filsafat dimulai pukul 08.00 WIB. Dan benar, Arman terlambat. Perlahan Ia membuka pintu namun tetap saja ketahuan.

“Kriieeoooot”, lengkingan engsel pintu yang lama tidak terjamah oli kontan menarik perhatian seisi kelas. Termasuk Pak Darno, dosen legendaris yang terkenal kaku dan pedas itu. Sekilas terlihat berbagai ekpresi dari teman-temannya, paling banyak menunjukkan sedang bersusah payah menahan tawa. Sambil menggaruk kulit kepala yang tidak gatal, Arman mengikuti instruksi Pak Darno untuk duduk di bangku paling depan.
Satu jam berlalu, akan tetapi pikiran Arman masih belum berada di kelas. Bukan karena sarapan spesial dari Pak Darno tadi pagi. Bukan juga gara-gara Aulia, gadis ceplas-ceplos yang kerap menjadikannya  bahan bahasan di kelas, yang kini diam-diam disukainya. Tapi baginya, ini lebih darurat dari itu semua. Arman gelisah.

… (bersambung)

#OneDayOnePost #HariKeempat #SemangatIstiqomahManfaat

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)