Obat Galau Salmah
“Salmah! Kau disini rupanya, Kenapa tidak masuk?”, kening
Ren berkerut. Diikuti mulutnya yang sengaja dibuat cemberut.
“Harus ya?”, balas Salmah disusul senyum kecil, memindahkan
tas dari kursi sebelahnya. Secara implisit mempersilakan duduk Ren yang berdiri
di hadapannya.
“Ya.. daripada sendiran?”
“Entahlah, aku lebih suka disini. Di kelas ramai”
“Dari tadi aku lihatin kamu dari pintu, lho. Lagi ngerjain apa?”, Ren antusias mengintip halaman buku tulis
yang sejak ia datang sudah ditutup Salmah dengan telapak tangan.
“Iya kah? Kok aku ngga nyadar ya? Hehehe. Eng.. nggak kok,
oret-oret aja..”
“Em.. oke-oke aku nggak kepo. Aku duduk sini gpp ya?”
“Yatuhan.. duduk aja, Ren.. Kayak sama siapa aja,”
Ren terdengar bergumam, lebih tepatnya beryanyi.
Kaki-kakinya berayunan diiringi gerakan kepala yang sesekali ke kanan lalu ke kiri.
Udara di taman sejuk-segar, meski tanpa ac
tidak panas sama sekali. Sinar matahari juga masih ramah, dengan senang hati
membantu pembentukan vitamin D bagi tulang-tulang mereka. Tak heran kalau
kampus ini mendapat penghargaan Kampus Hijau tahun lalu. Ren menghentikan senandungnya,
sibuk mengamati dua petugas kebersihan yang menyiangi rerumputan, satu lagi
merapikan tumbuhan perdu menjadi bentukan-bentukan lucu yang sedap dipandang. Setelah
hening beberapa saat, akhirnya Salmah membuka obrolan.
“Ren, sepertinya sekarang aku tahu kenapa aku galau
kemarin-kemarin,”
“Galau? Kapan?”, perhatian mata Ren tidak berpindah, hanya
saja tangan kanannya menggaruk-garuk belakang jilbabnya.
Bukannya menanggapi pertanyaan karibnya, Salmah malah
bercerita. Menerawang pertemuan tidak sengaja dengan kakak kelasnya kemarin
sore.
Sebentar lagi waktu magrib tiba, tak
heran jika jalanan berada di puncak keramaiannya. Tidak sampai macet memang,
namun dengan kecepatan yang menunjukkan ingin segera sampai rumah itu justru
membuat mental orang yang ingin menyeberang jadi ciut. Di tengah kibasan angin berpolusi
itulah seorang wanita yang tidak lagi
muda berdiri di tepi jalan. Sesekali maju beberapa langkah, lalu mundur lagi. Beberapa
kali tangannya, jika diamati dengan saksama, terlihat melambai ragu. Memberi
isyarat kepada pengemudi agar memberinya kesempatan barang satu dua menit.
Namun, sepertinya senja sudah
memburamkan tangan keriputnya itu, terbukti tidak ada satu pun kendaraan yang berminat
mengurangi kecepatan. Wanita tua itu mulai gelisah, dilihatnya ke sekitar,
tidak ada siapa-siapa yang bisa dimintai tolong.
“Ibuk
mau nyebrang? Ayuk bareng saya aja,” ujar seorang pemuda dari belakang dengan sopan,
membuatnya sedikit terkejut.
“Walah, terima kasih ya, nak. Maaf jadi ngrepoti”
“Nggak kok buk, saya juga mau nyebrang”, segera digandengnya
lengan wanita itu lalu mereka mulai menerobos jalan. Tak peduli beberapa
klakson besahutan, terdengar tidak sabaran.
Sesampainya di seberang, mereka berpisah. Usai memastikan si
nenek tidak akan menengok ke belakang, pemuda itu kembali menyeberang. Pulang.
Salmah yang sejak tadi menunggu angkot, sambil tidak sengaja
diam-diam mengamati, tiba-tiba mengulas senyum. Turut bahagia melihat kejadian
sederhana yang penuh arti barusan.
“Ternyata, bahagia itu kalau kita tulus berbagi ya, Ren! Klasik
sih.. tapi beneran.” tutup Salmah.
#OneDayOnePost
#SemangatIstiqomahManfaat
Jangan galau lagi ya
BalasHapusAgree
BalasHapus