Niat, Proses, dan (bukan) Hasil
“Dia dulu remidi terus padahal, nggak nyangka sekarang
sukses gitu, alf*mart nya aja dua”
“Si A sekarang kok
bisa jadi motivator terkenal ya, dulu dia teman sekelasku, lho. Pemalu dan
pendiam banget orangnya”
“Kasian ya kakaknya si B, waktu disekolah dapet peringkat pertama terus padahal. Eh sekarang
Cuma jadi karyawan biasa di perusahaan temennya”
Ketiga pernyataan di atas tentu sangat sering kita dengarkan
dalam kehidupan sehari-hari. Atau justru malah kita yang mengalaminya sendiri.
Namun apapun itu, kita tetap harus bersyukur atas hidup ini.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya hal-hal
seperti yang diutarakan di atas. Faktor ada tidaknya kerja keras, keuletan,
kesabaran, tidak mudah puas, dan sebagainya. Akan tetapi bertolak dari itu
semua, ada satu hal yang seringkali kita lupakan. Kita sering tidak sadar bahwa
semua itu terjadi hanya karena adanya campur tangan Tuhan. Kita juga sering
lupa, bahwa semua yang kita terima sudah disetting dalam bentuk paling pas bagi
kita, tentu saja menurut Tuhan, yang tidak selalu sesuai dengan perspektif
pribadi kita.
Sehingga akibat ‘kelupaan’ tersebut, ketika kegagalan atau
ketidaksesuaian antara hasil dengan usaha menghampiri, kita sering terburu-buru
menyalahkan semua orang, bahkan tanpa segan kita menghujat Tuhan habis-habisan
atas ‘servis’nya yang buruk berupa ketidakadilan ini. Sungguh yang mengutarakan
merasa sangat malu ketika menyadari pernah melakukannya. Namun syukurlah,
sifatnya Yang Maha Pemurah benar-benar tersampaikan sehingga saya tidak sampai
dimusnahkan segera dari bumi ini. Seperti lenyapnya kaum-kamu pembangkang
terdahulu, seram. Namun, malah diberi banyak sekali kesempatan untuk
memperbaiki diri. Alhamdulilah.
Selain hal di atas, ada lagi yang juga seringkali kita
abaikan. Dari berbagai contoh tentang kesuksesan pun warna warni kehidupan di
masa yang akan datang, kita masih juga sering tidak menyadari. Bahwa rejeki,
meski dalam hal ini tidak melulu soal rupiah, memang sudah ditentukan.
Menyadarinya, diri menjadi berfikir. Seandainya rejeki itu
sudah diatur, kasihan sekali mereka yang mendapatkan jatah lebih sedikit. Jangankan
infaq untuk pembangunan masjid, mecukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah terengah-engah.
Sebaliknya, betapa mudahnya beramal bagi mereka yang penghasilannya sudah
diatas rata-rata.
Lain lagi, menyenangkan sekali mereka yang terlahir dari
keluarga kiai, pejabat, atau pengusaha kaya. Sebaliknya, betapa nelangsa mereka
yang terlahir dari ibu tanpa ayah atau dari keluarga yang hidup ditengah
himpitan ekonomi. Sangat berbanding terbalik bukan. Namun istimewanya, itu
semua kenyataan. Ini artinya Tuhan memperkenankannya terjadi.
Jika berbagai perbedaan itu diperbolehkan, lalu mengapa kita
tidak curiga, jangan-jangan penilaian hidup ini memang benar hanya dari segi
niat serta prosesnya, dan bukan pada bagaimana hasil nantinya. Toh susah senang
semua ujian, sedang ujian berupa kelapangan lebih berbahaya, lebih rawan lupa
kepada yang memberi kemudahan.
#OneDayOnePost
Manusia dilahirkan sama, tanpa sehelai benang. Tapi proses kehidupan yang akan menentukan dia meninggal sebagai apa ^^
BalasHapusMantap mba Nabela...
I agree..
BalasHapusWell, proses memang membedakan hasilnya..😊
BalasHapus