Melepasnya (lagi)

Hujan sudah reda sejak tadi, tinggal rintik gerimis yang membersihkan sisa-sisa air di angkasa. Jalanan masih becek menyisakan aroma segar air-campur-tanah, kami menyebutnya ampo. Dari balik tirai jendela, kupandangi lamat-lamat dua punggung sejoli yang mulai menjauh dan hilang. Terlihat serasi, tapi juga menyakiti. Di satu sisi turut berbahagia, sisi lainnya menderita.  
Aku masih ingusan kala itu, sewaktu mbak Khofiyah ngekos di tempat Ibuk. Mbak Khofiyah cantik, baik, dan sempurna dimataku. Bidadari kedua yang kujumpa di dunia setelah Ibuk. Jika kalian masih ingat siapa cinta pertama kalian? Maka aku bahkan masih menyukainya. Di usia yang menginjak tiga belas, diam-diam aku menaruh perasaan dengan gadis yang tujuh tahun lebih tua dariku. Mbak khofiyah kudaulat menjadi menjadi cinta pertama yang sulit dilupa.

Aku tidak pernah bosan menungguinya pulang, meminta bantuan untuk mengerjakan PR, praktis aku akan menjelma menjadi anak rajin yang sedih saat tidak ada tugas dari pak guru. Sehabis maghrib, biasanya kami akan menghabiskan malam bersama. Sebenarnya hanya tiga puluh menit, itu pun dalam rangka mengajariku mengaji. Akhir pekan, saat Mbak Khofiyah sedang tidak ada kegiatan, maka aku dengan suka rela akan menemaninya. Menceritakan berbagai tempat wisata di Surabaya. Aku selalu senang saat Mbak Khofiyah bilang kapan-kapan akan mengajakku ke salah satunya, meski sampai akhirnya dia lulus, rencana itu sama sekali belum terkabul. Tapi aku tidak akan marah, kan mencintainya.

Demi melihat senyumnya, maka aku akan menawarkan bantuan apa saja. Kadang dengan membawakan galon air 19 liternya, menduplikat kunci kamar yang hilang, hingga memarkirkan motornya dengan benar. Sebenarnya aku sangat ingin Mbak Khofiyah tau perasaan ini, tapi untung waktu itu aku masih punya malu. Lagipula sarjana mana yang mau menerima cinta pemuda ranum yang baru balig tempo hari. Maka daripada patah hati, kuputuskan untuk menyimpannya sendiri dulu. Sambil berjanji dalam hati akan meminangnya suatu hari nanti, nanti pokoknya. Entah apa yang membuatku tiba-tiba berfikir sejauh itu.

Empat tahun berlalu, maka otomatis berhentilah kebersamaanku dengan Mbak Khofiyah. Aku ingat betul, sehari setelah wisudaan keluarga Mbak Khofiyah datang menjemput. Mengemasi barang-barang ke dalam mobil, lalu pamit kepada Ibuk. Dengan hati mendung, seikhlas mungkin kulepaskan bidadariku. Berharap janjiku untuk meminangnya akan segera tiba.
“Assalamualaikum”, sayup-sayup terdengar suara dari teras.
“Assalamualaikum, permisi..”, suara itu semakin jelas, menyadarkan jika mimpiku telah usai. Hujan sepanjang siang membuat tidurku semakin nyenyak. Dengan separuh kesadaran, kucoba mencari Ibuk. Masih di kamar mandi rupanya.
“Waalaikumsalam”, jawabku akhirnya sembari membukakan pintu. Terlihat seorang pemuda berwajah cerah yang belum pernah kukenal sebelumnya. Tidak masalah. Yang menjadi masalah kemudian adalah disampingnya berdiri seorang perempuan yang sangat kukenal. Mbak Khofiyah. Seketika rasa kantukku menguap. Malahan berganti perasaan kikuk antara tidak percaya, senang, deg-degan, dan macam-macam rasa yang tidak membuatku salah tingkah. Tapi ada satu hal yang kemudian membuatku tersadar lalu gelisah. Mereka tidak datang berdua, Mbak Khofiyah menggendong sesosok mungil bayi perempuan. Si laki-laki membawa payung, tas bayi, dan satu kantung plastik sedang.

               Setelah mempersilakan masuk dan mengobrol beberapa saat, ternyata firasatku benar. Mereka  menikah setahun silam dan telah dikaruniai seorang putri. Remuk redam rasanya mendengar kabar bahagia itu. Sedangkan kedatangan mereka adalah untuk bersilaturrahim sekaligus melayat almarhum Ayah yang baru saja tutup usia tiga bulan lalu. Mbak Khofiyah sempat meminta maaf karena baru tahu kabar duka itu tiga hari yang lalu. Aku mengangguk pelan, tersenyum memaklumi. Kemudian Mbak Khofiyah bercerita banyak, tentang apa saja yang dilaluinya selepas lulus hingga menemukan seseorang yang saat ini duduk disampingnya. Ibuk lebih banyak menanggapi. Sedang aku hanya sesekali bertanya, selebihnya mencoba berdamai dengan hati, tentang janji suci yang dulu pernah diamini.  


#OneDayOnePost  #SemangatIstiqomahManfaat

Komentar

  1. baca cerita ini, sy kok langsung ingat gilang ya... hehe.... peace gilang...

    BalasHapus
  2. Seperti dejavu.. betul2 hampir sama. Nabela atika sofia.

    BalasHapus
  3. Nostalgia, KEEP SPIRIT TO LEARN,
    OK,:):):)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)