Candu Itu Kunamai Mamak

Terbirit-birit mamak lari membawa baskom seng berisi air. Juga kain usang sobekan daster yang sudah kekecilan. Wajahnya cemas seolah bencana besar baru saja menimpa anak semata wayangnya. Sejak Bapak pergi, mamak memang jadi panikan. Juga lebih tegas dan bijak. Sedikit-sedikit takut jagoannya salah gaul atau kesakitan.

Seperti sore ini ketika aku baru saja pulang menjaja koran. Beralaskan telapak kaki yang sudah kapalan, aku nekat masuk rumah mamak yang berlantai tanah dengan mengendap. Persis seperti mau maling rumah sendiri. Sesegera mungkin menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa luka tadi siang. Tapi naas. Aku tertangkap mata mamak bulat-bulat. Kamar mandi yang kutuju berisi mamak yang kuduga baru saja buang hajat. Bau khasnya masih tertinggal.

“Ya Allah tolee… kamu kenapa bonyok gini lee…”, teriakannya seperti bicara dengan orang yang berdiri seratus meter darinya. Keras sekali, mulutnya bergerak-gerak tepat di depan dadaku, mamak pendek tapi suaranya melengking menabuh gendang kupingku. Sayang sebelum aku balas bicara, mamak sudah kalang kabut memanaskan air.

“Sudah. Duduk di sana”, sergah mamak menunjuk sebuah bayang tua. Sejak bayi intruksi mamak tidak pernah bisa kuelak, pokoknya kalau mau selamat menurut saja. Lima menitan kami saling diam. Sepanjang itu rumahku mendadak mencekam macam rumah hantu di pasar malam minggu.

Begitu telaten mamak mengusapi dahiku yang benjut dengan air hangat, sedikit ngilu tapi nyaman sekali. Memeras kain ke dalam baskom yang isinya mulai berwarna kemerahan, lalu berpindah ke  ujung bibir, siku tangan dan terakhir tempurung lutut. Melihat gerakan tangannya yang begitu lembut membersihkan luka, lama-lama tak tahan juga untuk menceritakan semuanya kepada mamak, tentu saja seusai ceracaunya yang panjang kali lebar.

Aku baru saja berkelahi, sengit sekali. Tapi kali ini bukan dengan preman-preman terminal bungur, bukan juga dengan anak-anak seprofesi dari gang sebelah. Aku tidak pernah mau ribut dengan manusia seperti mereka. Sebenarnya, darah-darah itu juga bukan berasal dari lukaku yang mulai mengering, tapi dari hati yang sudah terkoyak di sana sini. 

Aku tahu tidak seharusnya berceloteh masalah sesepele ini kepada mamak. Karena aku juga tahu, bahwa perempuan tua di depanku ini punya jauh lebih banyak luka-luka dibanding anaknya. Tapi entahlah, mengadu kepadanya adalah obat penenang paling ampuh sejagat raya. Dan sialnya, aku selalu ketagihan. Sekuat-kuatnya aku melawan hari, setidakpedulinya aku terantuk kerasnya aspal jalanan, rupanya mamak selalu lebih perkasa untuk kuceritai. Mamak juga, yang selalu berhasil membiusku menjadi tegak kembali. Mati rasa dengan penderitaan.


#OneDayOnePost  #SemangatIstiqomahManfaat  

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)