Maafkan Aku


Sejak pulang kerja, Imaf mondar-mandir di ruang tamu. Sebelas kali ia menelpon Nisa, namun selalu berakhir dengan jawaban yang sama dari operator. Sebenarnya Nisa sudah sms pukul sepuluh tadi, meminta izin untuk menengok ibunya. Saying sekali waktu itu Imaf tidak menghiraukan karena masih sibuk dengan kliennya, selain itu ia juga masih jengkel dengan istrinya akibat keributan kecil sebelum ke kantor tadi pagi. Di mata Imaf, istrinya sekarang sulit sekali di ingatkan, berbeda dengan awal-awal menikah dulu.

Sebenarnya Imaf tidak begitu ambil pusing saat tahu Nisa memutuskan naik bus sendiri tanpa menunggu jawaban darinya. Nisa sudah beberapa kali melakukannya. Yang membuatnya khawatir adalah telepon dari Ibu mertuanya, beliau malah bertanya apakah anaknya sudah berangkat atau belum, mengaku nomor Nisa tidak bisa dihubungi. Biasanya Nisa selalu memberi kabar kalau sudah sampai, namun tadinya ia pikir istrinya juga masih marah karena sms yang ia acuhkan.

Baru saja Imaf bersiap untuk pergi ke terminal, tiba-tiba smartphonenya berdering memberitahukan sebuah pesan masuk. Dari Nisa rupanya,

Maaf mas, aku ndak jadi ke Ibuk. Aku lagi di RSUD sekarang.Mas bisa kesini?

Membaca kata RSUD, jantung Imaf serasa berhenti berdenyut, nafasnya mendadak sesak. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mungkin Nisa..? Ada sedikit sesal dalam hatinya. Andai saja ia tadi sedikit menahan ego dan menyuruh Nisa menunggu sampai ia pulang.

Kamu kenapa Nis? Iya aku kesana sekarang

Tanpa menunggu balasan, Imaf kembali ke kamar, mengambil tas dan memasukkan seluruh atm dan simpanan milik mereka. Rumah sakit bukan tempat yang murah bagi karyawan sepertinya.
***

Ibu-ibu muda yang disampingnya itu terus saja terisak. Sembari mengusap kaki bayi yang digendongnya, air matanya tak henti mengalir. Tangan kanannya sibuk berkirim pesan dengan seseorang di seberang sana. Membuat Nisa tak tahan untuk tidak bertanya,
“maaf mbak.. mbak baik-baik saja..?”, ucapnya hati-hati, kuatir suasana semakin keruh.

Wanita di sebelahnya hanya menjawab dengan beberapa kali menggeleng, tangisnya kini semakin sesenggukan. Tanpa bertanya lagi, Nisa memilih menjulurkan tangan, memeluk sebisanya.

“tenangkan diri mbak.. ini tempat umum, nggak enak dilihat orang-orang.. kalau ada sesuatu yang bisa saya bantu, insyaallah saya usahakan”, Nisa berbisik, mencoba memancingnya bercerita. Menyadari para penumpang lain mulai memperhatikan mereka.

Sebenarnya Nisa tidak mengenal sama sekali siapa wanita di sampingnya, hanya teman duduk sejak berangkat dari terminal tadi. Awalnya seseorang yang dipanggilnya mbak itu baik-baik saja meski kegelisahan tergurat jelas dari air mukanya, namun ia menjadi beruraian air mata setelah menerima telepon dari seseorang. Tidak jelas apa pembicaraannya, nyanyian sumbang pengamen bus menyamarkan suara wanitanya.

“su..suamiku mbak..ak… suamiku.. “, meski belum mampu meneruskan kalimatnya, wanita itu mulai mau bicara. Bahunya semakin terguncang, membuat bayi di pangkuannya sedikit terusik. Nisa pun berinisiatif mengambil dari pangkuan ibunya, akan lebih baik jika bayi yang ia perkirakan baru berusia 5-6 bulan itu tetap tidur. Bayi laki-laki yang menggemaskan, pikirnya. Persis seperti apa yang selalu ia dan suaminya nantikan sejak hampir dua tahun pernikahan mereka.

“kenapa suaminya mbak..? ada masalah?”

Wanita itu kembali menggeleng dengan air mata tetap membasahi pipinya, namun kali ini ia terlihat mulai bisa mengendalikan diri, “suamiku meninggal mbak.. barusan..”, tangisnya kembali pecah, kedua telapak tangannya ia tangkupkan ke wajah sambil terus beristighfar.

“Innalillahiwainnailaihirojiun.. bagaimana ceritanya mbak?”

“Beberapa hari lalu dia kecelakaan di proyek, terus dirawat di RSUD. Pagi tadi dia mulai sadar, jadi saya bermaksud pulang sebentar, mau bawa Haidan. Kasian udah lama nggak minum ASI.. tapi nggak taunya sekarang malah dapet kabar gini dari kakak ipar saya.. saya nggak nyangka aja mbak secepat ini.. anak saya baru Haidan..”, jelas wanita itu sambil memandang bayinya yang kini yatim.

“Ya Allah, yang kuat ya mbak.. yang kuat.. kasihan Haidan”, sekarang tahu lah Nisa bayi mungil yang sedang digendongnya itu bernama Haidan. Sedang ibunya kembali menangis meski tidak separah tadi.

“Yaudah mbak saya antar saja ya.. Sebentar lagi kita sampai pertigaan, nanti kesananya naik becak saja..”, Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan.

“Pertigaan moro, pak”, teriaknya kepada kondektur yang tadinya pura-pura tidak memperhatika mereka.
***

Dua puluh menit sudah Nisa menunggu di lobby utama rumah sakit. Entah sudah berapa orang yang lalu lalang di depannya. Di pelataran juga nampak beberapa ambulan bergantian menaik-turunkan pasien, juga satu-dua tubuh yang ia duga sudah tidak bernyawa. Usai mengantarkan wanita yang ditemuinya di bus tadi, Nisa menjadi tidak begitu berselera mengunjungi rumah masa kecilnya. Bayangan Imaf seketika memenuhi fikirannya, ia membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi wanita tadi. Nadzubillah, Nisa belum siap. Lebih-lebih saat ini hubungan mereka sedang tidak baik. Meski belakangan ia sering tidak suka dengan cara suaminya menegur, namun bagaimanapun juga Nisa masih sangat mencintainya. Ia takut tidak mendapat ridlo suaminya, takut Tuhan juga murka kepadanya. Tidak beberapa lama, dari ujung lobby muncul juga orang yang ditungguinya. Begitu yakin itu suaminya, Nisa segera melambaikan tangan. Imaf yang tadinya kesulitan melihat sebab kacamatanya tertinggal, akhirnya bisa tersenyum lega melihat istrinya tidak kurang satu apapun. Nisa mencium tangan suaminya, Imaf sendiri segera memeluk Nisa tidak sabaran. Erat, seolah tidak pernah ingin melepasnya lagi.

“maafkan ak..”, ucap mereka berbarengan. Membuat masing-masing mendadak canggung.


#OneDayOnePost

Komentar

  1. Iya betul. Nama yang unik. Imaf. Dapet aja idenya...hehe

    BalasHapus
  2. Pertemuan yang romantis... hehe...
    Imaf, tadinya kukira nama cewe...

    BalasHapus
  3. Bagus idenya..mengalir. Hanya huruf besar untuk awalan kalimat ya..

    BalasHapus
  4. True story kah mbk Nabela?
    Bagus ceritanya.

    BalasHapus
  5. Mengambil hikmah dr kejadian orang lain, nice. Romantisnya dapet hikmah ceritanya juga dapet. Lanjutkan kakak 😊

    BalasHapus
  6. Ditunggu sambungan ceritanya ya😍

    BalasHapus
  7. Ditunggu sambungan ceritanya ya😍

    BalasHapus
  8. Saya suka ceritanya mba. Mengambil hikmah dr perpisahan yg kapan saja bs terjadi.

    BalasHapus
  9. Ceritanya membuat kita jadi ingat suami. Hihihi

    BalasHapus
  10. Mangambil Hikma dri kejadian org lain..
    Good Job..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)