Menjemput Pagi
Handphone-ku sudah berbunyi beberapa kali. Mengingatkan
berulang-ulang jika waktu tahajud hampir selesai. Dan entah kesekian kali aku
hanya sanggup membuka-tutup mata, berdiskusi dengan fikiran yang sejak tadi
minta dibangunkan. Setelah negosiasi alot, akhirnya bisa juga tubuh ini kupaksa
bangkit, duduk sebentar di tepi ranjang lalu bergegas ke kamar mandi.
Menunaikan dua rakaat fajar mengingat shubuh tidak lama lagi akan tiba. Semalam
aku sengaja pulang sangat larut, sulit rasanya menyudahi ekslusif Q-time bersama
teman-teman.
Hari ini biasa
namun tidak seperti biasanya. Sejak kemarin kamarku mendadak sangat rapi,
bahkan seluruh buku-buku serta perlengkapan sehari-hari sudah tersusun manis di
dalam kardus. Total lima kardus ditambah satu koper besar berisi pakaian.
Kertas-kertas berisi kalimat penyemangat, yang terus menerus bertambah sejak
semester satu, juga sudah ku bersihkan jauh-jauh hari. Praktis
dinding kamarku menjadi lebih polos nan sepi. Semakin mengompori bahwa masa
tenggangku sudah hampir habis disini.
Dua jam lagi ayah tiba,
beliau sengaja berangkat pukul tiga agar bisa menghindari macet. Mobilnya yang
tidak ber-ac akan sangat menyiksa jika terlalu lama terjebak dibawah
terik matahari kota. Rasanya cepat sekali tiga tahun berlalu, padahal masih
sangat jelas beberapa waktu lalu ibu memelukku bahagia setelah mendengar kabar,
bahwa akhirnya, putri sulungnya lolos ujian masuk perguruan tinggi. Beberapa
waktu dan tiba-tiba kemarin lusa kami kembali berpelukan, merayakan sumpah profesiku
sebagai seorang bidan.
Jika sejak sekolah dasar
sampai dengan SMA kelulusan selalu menjadi hal yang paling kutunggu, maka lulus
sekolah tinggi tidak lagi demikian. Ada campur aduk perasaan di sana, paling
mendominasi adalah tentang kekhawatiranku menghadapi dunia yang sesungguhnya.
Jika sebelumnya aku hanya menjadikan masyarakat sebagai sasaran studi atau
bahan kajian. Maka sebentar lagi aku akan melebur ke dalam mereka. Mengabdikan
ilmu yang kudapat di tanah rantau ini, serta sebisa mungkin turut mengambil
peran untuk kesejahteraan mereka. Sebuah amanat besar dari Pak Rektor kepada
kami para fresh graduate nya, pada wisudaan minggu lalu.
“Alhamdulillah
ya, Gi. Nggak nyangka bisa nguliahkan kamu.”
“Hehe, ya bisa lah yah.
Orang tinggal kuliah.” jawabku sekenanya.
“Eh.. kamu ini”,
seketika kepalan tangannya yang berat mendarat pelan diatas kepalaku. Aku dijenggung dan
hanya cengingisan seperti biasa. Berada didekatnya selalu membuatku lupa usia
dan bagaimana sikap dewasa.
Sesampainya jalan tol,
kami larut dalam obrolan panjang. Membahas keputusanku untuk menunda transfer
ke S1 dan memilih bekerja terlebih dahulu. Awalnya Ayah memang menolak
rencanaku, baginya selagi masih bisa menyekolahkan, aku harus kuliah setinggi mungkin.
Tapi agaknya, umur yang sudah menapaki kepala dua ini membuatku menjadi begitu
malu meminta uangnya. Aku ingin mandiri, bekerja dulu barang satu dua tahun,
baru kemudian melanjutkan studi dengan biaya sendiri. Itu impianku. Meski
sebelumnya ide ini juga ditolak ibu, namun akhirnya mereka memberi restu
setelah aku menuturkan sudah diterima bekerja di salah satu rumah sakit daerah
di pusat kota tempat tinggal kami.
Sebenarnya ini bukan
keputusan mudah, melihat hampir separuh lebih teman seangkatan memilih kembali
fokus lanjut kuliah atau paling tidak kuliah tapi disambi kerja. Namun kurasa
tidak akan sepenuhnya cukup jika hanya nyambi. Sekolah kesehatan
sebentar-sebentar butuh ini itu. Paling tidak aku harus punya modal, tekadku
kemudian. Lagipula aku anak sulung, ada beberapa adik yang lebih butuh
perhatian mereka.
Hari ini Ayah menjemput
Pagi, anaknya. Hari ini juga, aku sudah berjanji akan menjemput pagi, anak mimpiku
malam tadi.
#OneDayOnePost #SemangatIstiqomahManfaat
Komentar
Posting Komentar