Bulan Ketiga Belas


“Delegasi selanjutnya yakni dari Bojonegoro atas nama Doni Siswantara, Ajeng Kartika, dan Ahmad Farhan. Kepada ketiganya atau yang mewakili silakan menuju panggung utama.. Selanjutnya yaitu dari...”, suara pembawa acara sayup-sayup terdengar mengundang beberapa nama dari daerah lain yang tidak mereka kenal. Diiringi tepuk tangan riuh dari para guru pembimbingnya sendiri, Doni dan kedua temannya berjalan ke podium untuk mengambil tanda mata, sebuah goodie bag berisi kaos, piagam penghargaan serta sebuah amplop putih dengan beberapa lembar lima puluh ribuan. Ada perasaan senang dalam hatinya, ini pengalaman pertama bagi Doni untuk turut serta menjadi peserta lomba bergengsi yang sebelumnya hanya ia lihat di tivi atau koran sekolah. Bukankah membanggakan menjadi seorang delegasi lomba? Meski baru tingkat provinsi, ini perjuangan luar biasa bagi anak laki-laki berkacamata itu. Lebih-lebih Doni bukan dari keluarga serba ada yang jangankan membeli buku-buku olimpiade, uang jajan saja ia sering tidak terjatah.

Malam penyambutan peserta olimpiade tingkat provinsi kali ini berjalan meriah. Beberapa siswa dari SMA ternama di Surabaya juga turut meramaikan acara dengan menyanyi atau menari. Gedung Aula Bir Ali milik Asrama Haji Sukolilo Surabaya menjadi saksi betapa sumringah wajah-wajah pemilik masa depan bangsa ini. Usai mengikuti welcome party, Doni beserta teman satu kontingennya digiring menuju kamar masing-masing untuk beristirahat sejenak sebelum pergulatan pikiran keesokan harinya. 

...

“Oke, anak-anak semua siap?? Setengah jam lagi kita akan menuju lokasi, Bapak mau memastikan agar kalian tidak nyasar nanti. Oya, udah minta doa sama orang tuanya? Kalau ada yang belum bapak tunggu, silakan telepon dulu..”, Pak Pram memberi arahan, senyumnya mengembang menyapa setiap anak didiknya.

Telepon? Orang tua? Memangnya penting, pikir Doni. Toh satu-satunya alat komunikasi di rumahnya adalah hp butut milik Bapaknya, yang selalu mati saat menerima telepon. Sedangkan doa orang tua, Doni yakin sejak pamit kemarin lusa bapaknya sudah mendoakannya, entah kalau Ibunya.
“Doni kamu sakit?”, Pak Pram baru menyadari jika mata Doni memerah dan hidungnya berair.
“Oh, Nggak pak. Anu, nggak tawar AC saya”, jawabnya malu-malu diikuti gelak tawa teman-temannya. Sebenarnya fasilitas di kamar itu lumayan, ada spring bed, lemari besar, kamar mandi dalam, tv, dan dilengkapi pendingin ruangan. Tata letaknya sangat rapih juga bersih. Namun menjadi tidak menyenangkan sama sekali bagi Doni yang biasa tidur di bayang, AC malah membuatnya bersin berkali-kali, tadi malam ia bahkan tidak bisa tidur pulas, sarung dari bapak tidak cukup membuatnya hangat. Jadilah ia terserang flu mendadak di pagi hari.

 Beberapa saat kemudian mereka sudah berpisah ke kelas masing-masing, Doni di kelas Fisika, Ajeng berhambur menuju kelas Biologi sementara Farhan menuju ruangan Matematika. Sebentar lagi mereka akan kembali berjuang. Tanpa sengaja, tertangkap olehnya dari balik kaca kelas seorang gadis seusianya berpelukan dengan seorang perempuan, sepertinya Ibunya, erat sekali. Selanjutnya mereka bersalaman sebelum si gadis masuk ke kelas dan duduk di bangku sebelahnya.

Melihat kehangatan mereka, ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Ingatan Doni sedikit buram mengingati kapan terakhir berpelukan dengan perempuan yang ia panggil Ibuk. Ah, sial sekali. Seharusnya tidak di saat seperti ini. Gumamnya kesal sambil terus mengibaskan tangan ke arah mata yang tiba-tiba nyaris basah. Jangan sekarang, ia memohon kepada Tuhannya. Doni harus kembali fokus, saingannya kini bertambah dengan seleksi semakin ketat. Ayolah sebentar saja, pintanya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado pernikahan (2)

Kunjugan Kartini

Bulan Ketiga Belas (2)